Kredit MIKRO - Si Kecil yang MAHAL
Kenapa pembiayaan/kredit mikro yang plafondnya kecil-kecil bunga/ marginnya lebih tinggi dibanding kredit yang besar-besar?
Pertanyan diatas sering kali saya dapatkan dari calon nasabah saat memasarkan produk kredit/ pembiayaan dari sebuah lembaga keuangan maupun saat berdiskusi dengan teman-teman terkait produk perbankan khususnya kredit/ pembiayaan mikro.
Tak jarang ada yang berpendapat ini sangat tidak adil bagi pelaku usaha kecil (UKM) yang seharusnya mendapat keringanan dari sisi harga (baca: bunga/margin).
Bagaimana tidak? misalnya saja kredit mikro dengan plafond sampai dengan Rp. 50 Juta saat masih dipasarkan rata-rata 20% pertahun bahkan beberapa Bank masih ada yang menjual 30% – 35% pertahun (produk non KUR loh ya...), sementara untuk kredit yang besar-besar saat ini dikisaran 13% - 15% pertahun, bahkan untuk kredit koorporasi yang lebih besar plafondnya bisa jauh lebih rendah.
Sudah dapat bayangan perbandingan kan? atau mungkin anda juga punya pertanyaan dan pendapat yang sama?
Sebelum mengulas hal diatas, saya ingin menyampaikan beberapa kriteria terkait usaha mikro, kecil dan menengah menurut UU No.20 Tahun 2008.
Kelas Usaha
|
Kekayaan Bersih
(tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha)
|
Penjualan Tahunan
(Omset Kotor di setahunkan)
|
Mikro
|
Maksimum Rp. 50 Juta
|
Maksimum Rp. 300 juta
|
Kecil
|
Diatas Rp. 50 Juta Sampai Rp. 500 Juta
|
Rp. 300 juta – Rp. 2.5 Milyar
|
Menengah
|
Diatas Rp. 500 juta sampai Rp. 10 Milyar
|
Rp. 2.5 Milyar – Rp. 50 Milyar
|
Wah tabel diatas kok sepertinya semakin meyakinkan bahwa ada ketidak-adilan perlakuan pada pengusaha mikro, sudahlah punya usaha kecil malah dibebani harga (bunga) yang tinggi pula, bahkan ada yang berpendapat ekstrim bahwa lembaga keuangan/ Bank memanfaatkan pengusaha kecil untuk mengeruk kuntungan sebesar-besarnya.
Pendapat diatas tidak sepenuhnya benar, karena ada beberapa hal yang kadang luput dari perhatian kita terkait penyelenggaraan lembaga keuangan bank atau pun non bank yang melayani kredit/pembiayaan mikro, terbukti beberapa lembaga keuangan/ bank yang bermain di segmen ini tidak semuanya sukses, beberapa bahkan sudah mengangkat bendera putih meninggalkan pembiayaan mikro dan kembali ke core bisnis awal mereka yaitu konsumer, pegawal, KPR dan pembiayaan koorporasi.
Terkait harga (bunga/margin) pada produk pembiayaan mikro, ada beberapa faktor yang “memaksa” mereka menjual harga lebih tinggi untuk dapat bertahan dan tumbuh di segmentasi ini:
1. High Profit High Risk
Dengan suku bunga/ margin lebih dari 20% pertahun tentu segmentasi ini sangat menjanjikan keuntungan yang besar, ditambah lagi dengan market yang masih sangat luas dimana masih banyak pelaku usaha mikro belum mendapat pelayanan dari lembaga keuangan/ bank.
Namun profit yang menggiurkan juga sebanding dengan resiko yang dihadapi, bagaimana tidak, rata-rata pelaku usaha mikro bergerak dibidang usaha informal, dikelola secara tradisional, pencatatan keuangan yang sangat minim bahkan hampir tidak ada, mereka juga sangat mudah beralih ke usaha lain, hal-hal ini lah yang membuat resiko pembiayaan mikro menjadi besar, analisa dari pihak bank berdasarkan data seadanya, dampaknya dapat dilihat dari Rasio Kredit bermasalah yang lebih tinggi, dalam praktek lembaga keuangan/ bank besarnya pembiayaan bermasalah berarti biaya pencadangan juga akan bertambah.
Sedangkan untuk segmentasi menengah atas (SME/ small medium enterprise) rata-rata usaha sudah formal, perizinan lengkap, manajemen dikelola dengan lebih modern, pencatatan kegiatan usaha sudah baik, hal ini tentu sangat mendukung dalam proses analisa oleh pihak bank.
2. Biaya Operasional yang tinggi
Faktor lain yang membuat produk pembiayaan mikro relatif lebih mahal adalah besarnya biaya operasional dalam segmen ini, sebagai ilustrasi dengan budget Rp. 50 Milyar pertahun, unit bisnis pembiayaan mikro setidaknya memerlukan 40-50 orang pegawal yang terlibat aktif yang terdiri dari tenaga pemasaran, penagihan, analis kredit, dan staf operasional dan administrasi untuk menangani 300 – 400 nasabah dengan asumsi plafond pernasabah Rp. 100 juta.
Sedangkan untuk pembiayaan menengah atas hanya membutuhkan 3 – 5 orang saja, untuk bank skala besar bahkan budget segini tidak lebih dari 5 orang nasabah saja.
Belum lagi biaya operasional lainnya seperti transportasi yang tentu berbeda mengelola 300 – 400 nasabah mikro dengan mengelola hanya 3 – 5 nasabah besar. Karena usaha mikro sangat terbatas dokumentasi kegiatan usahanya termasuk catatan keuangan yang minim pembiayaan mikro juga mengharusnya petugas-petugas bank harus turun langsung kelapangan hingga beberapa level keatas, yang berimbas langsung ke waktu dan biaya yang dikeluarkan.
3. Biaya dana yang tinggi
Salah satu fungsi lembaga keuangan/ Bank adalah fungsi intermediasi, yaitu menjadi perantara orang yang kelebihan dana (penabung) dan orang yang memerlukan pendanaan (peminjam), karena itulah sebagian besar sumber dana yang di kucurkan dalam bentuk pembiayaan/ kredit adalah dana masyarakat yang menabung di bank baik dalam bentuk tabungan maupun deposito.
Selain faktor keamanan, salah satu yang menjadi pertimbangan seseorang dalam menempatkan uangnya di lembaga keuangan/Bank adalah suku bunga yang akan mereka terima, semakin besar suku bunga yang diberikan kepada nasabah penabung maka semakin besar pula suku bunga yang akan di jual kepada nasabah peminjam, sifat yang sangat manusiawi bukan? Ketika jadi penabung ingin dapat return lebih tinggi dan ketika jadi peminjam maunya dapat biaya bunga sekecilnya.
Nah, suku bunga pembiyaan mikro yang ada di pasaran saat ini setidaknya telah mempertimbangkan beberapa faktor diatas, namun bukan hanya itu masih ada hal-hal lain yang mempengaruhi tingkat suku bunga, misalnya target laba yang akan di capai.
Setiap lembaga keuangan/Bank mempunyai standarisasi masing-masing dalam menghitung faktor-faktor diatas, sehingga besaran suku bunga bisa saja berbeda-beda.
Saat ini pemerintah berupaya untuk lebih memihak pada pengusaha mikro dengan meluncurkan produk pembiayaan bersubsidi yang sering kita dengan dengan program Kredit Usaha Rakyat (KUR), pemerintah mengklaim program ini cukup berhasil namun harus di akui masih belum mampu menyentuh semua pengusaha mikro karena memang jumlah pengusaha mikro sangat besar. Program KUR yang masih terbatas ini membuat produk pembiayaan non subsidi masih menjadi pilihan meski dengan biaya/ bunga yang tentunya lebih tinggi.
Jika ada pendapat atau faktor lain silahkan tulis di kolom komentar :)
Jika ada pendapat atau faktor lain silahkan tulis di kolom komentar :)
Semoga coretan ini bermanfaat
Salam dari Si aBank
0 Response to "Kredit MIKRO - Si Kecil yang MAHAL"
Post a Comment